Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Provinsi Lampung menyampaikan pandangan kritis terhadap pelaksanaan APBD 2024, khususnya pada tiga urusan dasar pelayanan publik: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Fraksi PKS, Syukron Muchtar, dalam rapat paripurna yang digelar Selasa (1/7/2025).
Syukron menyampaikan bahwa realisasi anggaran pendidikan sebesar Rp1,916 triliun atau 22% dari total belanja daerah sebesar Rp8,7 triliun telah memenuhi amanat mandatory spending minimal 20%. Fraksi PKS mengapresiasi capaian tersebut.
Namun, ia menekankan bahwa pemenuhan anggaran secara kuantitatif belum diiringi dengan capaian kualitatif. Beberapa indikator mutu yang dinilai masih lemah antara lain indeks mutu pendidikan, rasio guru terhadap rombongan belajar, keterjangkauan akses pendidikan menengah di daerah 3T, serta angka transisi ke perguruan tinggi.
PKS juga menyoroti target pendapatan Dinas Pendidikan sebesar Rp70,05 miliar yang hanya terealisasi Rp461 juta (0,65%). Bahkan, pendapatan dari transfer pusat tidak terealisasi sama sekali. “Ini mencerminkan kelemahan dalam pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta minimnya inovasi dalam menggali sumber-sumber pendapatan sah,” tegasnya.
Meski realisasi belanja Dinas Pendidikan mencapai 98,34%, PKS menilai anggaran masih didominasi proyek fisik, seperti pembangunan ruang kelas dan rehabilitasi sekolah. Sementara itu, realisasi Dana BOS SMA hanya 39,28% dan BOS SMK 62,99%, serta program peningkatan mutu berbasis teknologi hanya 40%.
“Tingginya serapan anggaran tidak selalu mencerminkan peningkatan kualitas. Evaluasi terhadap output dan dampaknya terhadap mutu pembelajaran menjadi hal mendesak,” ujar Syukron.
Fraksi PKS menilai sektor kesehatan memerlukan perhatian serius. Pasalnya, kesehatan menjadi salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah. Dinas Kesehatan tercatat merealisasikan PAD dari retribusi daerah sebesar Rp7,1 miliar (110,04%) dari target. Namun, tidak tercatat adanya realisasi dari transfer pusat, terutama terkait DAK nonfisik seperti Jampersal, BOK, dan dana stunting.
Dengan total pagu belanja sebesar Rp278,4 miliar, realisasi hanya mencapai Rp222,9 miliar (80,06%). Serapan rendah juga terjadi pada program strategis seperti telemedicine (7,82%), pelayanan kesehatan terpencil (43,12%), dan penanganan penyakit menular dan tidak menular (89,4%). Bahkan, belanja untuk layanan ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) nihil.
“Program penunjang justru memiliki serapan di atas 95%, yang menunjukkan bahwa efisiensi tinggi belum tentu mencerminkan efektivitas, terutama untuk kelompok masyarakat rentan,” kata Syukron.
Dalam bidang infrastruktur, Fraksi PKS menyoroti rendahnya realisasi anggaran pada dua dinas utama: Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) serta Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA).
Dinas BMBK mengelola anggaran sebesar Rp905,54 miliar, namun realisasi hanya Rp524,89 miliar (57,96%). Belanja terbesar berada pada program penyelenggaraan jalan sebesar Rp845,18 miliar, namun serapannya hanya 55,82%. Sub-kegiatan strategis seperti rehabilitasi jalan, pembangunan jalan, dan penggantian jembatan semuanya di bawah 50%. Yang paling ironis, pemeliharaan berkala jalan hanya terserap 0,75%.
Pendapatan dari retribusi sektor ini juga belum optimal, yakni Rp521 juta dari target Rp621 juta (83,88%).
Sementara itu, Dinas PSDA memiliki anggaran Rp231,77 miliar dengan realisasi Rp171,07 miliar (73,8%). Kegiatan pembangunan tanggul sungai, embung, dan seawall masing-masing hanya terserap sekitar 40–56 persen. Namun, kegiatan rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi menunjukkan kinerja baik dengan realisasi masing-masing 76,44% dan 98,77%.
Sayangnya, pembangunan sumur air baku yang penting bagi pengentasan kemiskinan ekstrem hanya terealisasi 24,75%.
“Walaupun alokasi anggaran infrastruktur telah memenuhi ketentuan mandatory spending 40%, namun dari sisi realisasi dan efektivitas, kinerja masih jauh dari optimal,” ujar Syukron.
Fraksi PKS menilai kondisi ini berisiko menghambat konektivitas antarwilayah, distribusi logistik, serta menambah biaya sosial dan ekonomi akibat kerusakan jalan, banjir, dan minimnya akses air bersih di wilayah rawan.