Kemenag Gulirkan Dana Riset “Indonesia Bangkit” hingga Rp2 Miliar per Proposal

Kementerian Agama dalam tiga tahun terakhir menggulirkan Ministry of Religious Affairs The Awakened Indonesia Research Funds Program (MoRA The Air Funds). Program ini merupakan skema pendanaan riset yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) bekerja sama dengan Kementerian Agama.

Program ini memiliki empat fokus riset, yaitu sosial humaniora, ekonomi dan lingkungan, kebijakan agama dan keagamaan, serta sains dan teknologi. Untuk tiga bidang pertama, dana maksimal yang disiapkan mencapai Rp500 juta per riset, sementara bidang sains dan teknologi bisa memperoleh hingga Rp2 miliar.

Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Sahiron, mengatakan program tersebut sangat strategis dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Menurutnya, cita-cita besar itu harus dibarengi dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing.

“SDM menjadi kata kunci agar Indonesia tetap eksis dapat bersaing dengan bangsa-bangsa di dunia. Riset menjadi hal yang strategis untuk menjadi arus utama dalam rangka menjamin tumbuhnya SDM berkualitas dan berdaya saing,” ujar Sahiron di Jakarta, Selasa, 28 Oktober 2025.

Ia menuturkan, bonus demografi yang diramalkan McKinsey menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Namun, rasio penduduk bergelar Magister (S2) dan Doktor (S3) di Indonesia masih rendah, hanya 0,49 persen dari penduduk usia produktif, jauh tertinggal dibanding Malaysia, Vietnam, dan Thailand (2,43 persen) maupun negara maju (9,8 persen).

Sahiron menilai, MoRA The Air Funds Program atau Program Pendanaan Riset Indonesia Bangkit menjadi jawaban atas tantangan tersebut. Program ini ditangani oleh Pusat Pembiayaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (Puspenma) bersama Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

“Program ini menjadi terobosan penting bagi Kementerian Agama RI dalam kerangka menyelesaikan problem-problem kemasyarakatan, keagamaan, dan kebangsaan berbasis riset,” kata Sahiron.

Menurutnya, riset di perguruan tinggi keagamaan perlu ditingkatkan tidak hanya dalam aspek akses dan mutu, tetapi juga daya saing di tingkat nasional dan internasional. Program ini diharapkan mendorong peningkatan kualitas riset, memperbanyak publikasi ilmiah, menghasilkan paten, serta menyumbangkan naskah akademik sebagai bahan kebijakan publik.

Kepala Puspenma Kementerian Agama, Ruchman Basori, menjelaskan ada empat tema besar yang menjadi fokus MoRA The Air Funds: sains dan teknologi, sosial humaniora, ekonomi dan lingkungan, serta kebijakan layanan pendidikan dan keagamaan.

Bidang sosial humaniora mencakup 19 tema, mulai dari pendidikan transformatif, demokrasi dan identitas bangsa, hingga rekayasa sosial dan ketahanan budaya lokal.

Sementara bidang sains dan teknologi mencakup 11 tema, di antaranya hilirisasi riset, ketahanan pangan, kebencanaan, keamanan informasi, hingga saintifikasi jamu dan teknologi biomedis.

Bidang ekonomi dan lingkungan memiliki 13 tema riset, seperti green economy, perubahan iklim global, pemberdayaan perempuan, UMKM berbasis pengetahuan, hingga ekonomi digital.

Adapun bidang kebijakan layanan pendidikan dan keagamaan menyoroti efektivitas layanan madrasah, pesantren, pendidikan agama, penyelenggaraan haji, moderasi beragama, hingga jaminan produk halal.

Isu riset periode 2025–2029 difokuskan pada dukungan terhadap sasaran RPJMN 2025–2029, seperti penurunan kemiskinan, peningkatan SDM, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Riset juga diharapkan mempercepat hilirisasi hasil penelitian melalui kolaborasi antara perguruan tinggi, dunia usaha, dan industri.

Seluruh tahapan pelaksanaan program — mulai dari pengajuan proposal hingga pelaporan — dilakukan secara paperless melalui platform eRISPRO–LPDP. Pendaftaran telah dibuka sejak 13 Oktober, sementara pengajuan proposal dibuka pada 23 Oktober hingga 7 November 2025.

Program MoRA The Air Funds, kata Ruchman, diharapkan menjadi ekosistem riset yang kolaboratif, melibatkan berbagai pihak di dalam dan luar negeri. “Penelitian ini dapat diselenggarakan multi years (1–3 tahun). Para dosen PTK diharapkan mengambil bagian karena anggarannya relatif besar, antara Rp500 juta hingga Rp2 miliar,” ujarnya.

Exit mobile version