Anggota Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung, Putra Jaya Umar, menilai lima usulan dari Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) mencerminkan kepentingan bersama antara petani dan pelaku industri. Ia menyebut usulan tersebut berpotensi menciptakan solusi yang saling menguntungkan (win-win solution).
Pernyataan itu disampaikan Putra Jaya Umar menyusul terbitnya Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penetapan Harga Ubi Kayu, yang mulai berlaku pada 5 Mei 2025. Instruksi tersebut menetapkan harga singkong di Lampung sebesar Rp1.350 per kilogram, dengan potongan maksimal 30 persen dan tanpa penghitungan kadar aci.
“Pansus mengapresiasi usulan tersebut. Mari kita kawal bersama agar implementasinya di lapangan efektif. Jika dijalankan dengan baik, harga singkong justru bisa meningkat,” ujar Putra Jaya Umar, Rabu (7/5).
Menurutnya, usulan PPTTI lebih adil, termasuk permintaan agar harga singkong diberlakukan secara nasional, mengingat industri tapioka tersebar di berbagai daerah seperti Jawa dan Sumatera.
“Kalau Lampung menerapkan harga Rp1.350 per kilogram, tapi di daerah lain lebih rendah, produk kita bisa kalah bersaing di pasar,” jelas politisi Fraksi Golkar itu.
Putra juga menyampaikan bahwa pelaku industri meminta pemerintah menghentikan impor singkong karena dinilai mengganggu kestabilan harga. Ia meyakini, apabila seluruh usulan dijalankan, harga jual singkong di tingkat petani akan lebih baik.
Ia mendorong pabrik tapioka untuk menjalin kemitraan dengan petani, seperti model kerja sama yang diterapkan antara pabrik gula dan petani tebu di Lampung.
Putra bahkan mengusulkan agar singkong ditetapkan sebagai pangan nasional. Dengan status tersebut, singkong dapat memperoleh perlindungan harga dan subsidi pupuk dari pemerintah.
“Pemerintah juga bisa memberikan alat dan mesin pertanian yang lebih canggih seperti di Thailand agar produksi meningkat dan lebih efisien,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyarankan petani tidak hanya bergantung pada singkong. Bagi petani yang berada di sekitar pabrik gula, dapat menanam tebu, sementara petani di lahan basah bisa mengembangkan kelapa sawit.
“Kebutuhan terhadap gula dan energi seperti biosolar dari sawit sangat tinggi. Maka dibutuhkan ketersediaan bahan baku yang cukup,” pungkasnya.