Di antara ribuan barisan peserta pelantikan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kementerian Agama, seorang lelaki berjalan pelan—tidak karena ragu, tapi karena tubuhnya telah belajar berdamai dengan rasa sakit.
Langkahnya tertatih, bukan semata karena usia yang menua, tapi juga karena bekas luka kecelakaan motor beberapa tahun silam yang tak kunjung benar-benar pulih.
Namanya Misman. Lahir pada 23 November 1967, ia berdiri hari ini sebagai PPPK tertua se-Provinsi Lampung. Bukan sekadar angka dalam daftar, tapi kisah tentang kesetiaan, kesabaran, dan keteguhan yang tak runtuh oleh waktu ataupun derita.
Hari itu, Senin, 26 Mei 2025, aula megah Gedung Serba Guna (GSG) UIN Raden Intan Lampung berubah menjadi lautan biru. Ribuan peserta pelantikan hadir dengan mengenakan seragam Korpri—kebanggaan para aparatur pemerintah—yang berkibar gagah dalam deretan yang rapi dan penuh semangat.
Namun, di tengah kemegahan acara, perhatian sejenak terhenti pada sosok tua yang perlahan naik ke panggung dengan dipapah kawan di sebelahnya .Ia tidak mencari sorotan, tapi justru sorotanlah yang menemukannya.
Hampir separuh hidupnya ia persembahkan untuk pelayanan di KUA Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Ia mulai sebagai pembantu pencatat nikah pada 2007, lalu menjadi staf, hingga diangkat sebagai penyuluh agama honorer pada 2016. Semua dijalani dalam kesunyian birokrasi, tanpa sorotan kamera, tanpa jaminan pasti.
“Setiap pagi saya bangun dengan nyeri di kaki. Tapi saya tetap berangkat, karena saya tahu ini jalan saya,” katanya dengan suara pelan, namun jernih. Ia bukan hanya menjemput tugas namun ia tengah menjemput takdir.
Misman menyelesaikan pendidikan di Fakultas Syari’ah pada tahun 1993. Ia tak langsung mendapat pekerjaan tetap untuk menghidupi keluarganya, tapi ia tidak menyerah. Ia bersabar. Ia menunggu. Ia terus berjalan, meski perlahan, meski sakit, meski senja mulai merunduk di pundaknya
Semula, harapannya sempit. Ia tahu, pelantikan ini hanya akan memberinya waktu lima bulan sebelum usia memaksanya mundur. Namun takdir berbisik lain.
Pemerintah bijak dengan memperpanjang Masa kerjanya menjadi satu tahun. Dan itu cukup. Cukup untuk menegakkan kepala, cukup untuk berkata pada cucunya kelak: “Kakek tidak berhenti sebelum mimpi itu tercapai.”
Di antara hiruk-pikuk suara MC dan denting musik pengiring, wajah Misman tampak tenang. Ia tidak berteriak kegembiraan, ia tidak melonjak seperti yang muda-muda. Tapi di sudut matanya, ada cahaya yang tak bisa disembunyikan—cahaya lega, bahagia, dan syukur yang dalam.
Kini, ia adalah seorang kakek dengan satu cucu yang gemar duduk di pangkuannya sambil mendengarkan cerita. Tapi hari ini, Mismanlah yang menjadi cerita itu sendiri—kisah tentang lelaki tua yang tidak pernah berhenti melangkah, meski dunia tak selalu ramah.
Saat senja menggenggam asa, dan waktu akhirnya mengalah pada kesabaran, Misman berdiri di ruang pelantikan sebagai bukti hidup bahwa pengabdian tak pernah sia-sia. Bahwa luka bisa menjadi jalan, dan langkah yang tertatih pun bisa mencapai garis akhir. (*)