Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung sekaligus anggota Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong, Ahmad Basuki (Abas), mendesak pemerintah pusat segera membahas kebijakan pelarangan terbatas (lartas) terhadap impor tapioka. Ia menilai impor yang masif telah menyebabkan harga singkong petani lokal anjlok tajam
Abas mengungkap adanya dugaan praktik curang dalam aktivitas impor, yang dilakukan dengan berbagai modus untuk menghindari pengawasan di daerah.
“Sampai Maret 2025 kemarin masih masuk ratusan ribu ton. Alasannya, invoice lama baru datang barangnya. Modusnya, impor tidak langsung ke Lampung, jadi tidak tercatat di Bea Cukai Lampung,” ujarnya, Sabtu (11/5).
Mengacu pada data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), impor tapioka nasional sepanjang 2024 mencapai 267 ribu ton, setara dengan lebih dari 1,3 juta ton singkong lokal. Lampung sebagai produsen utama singkong nasional menjadi daerah yang paling terdampak.
“Petani singkong Lampung terdampak langsung dari banjirnya tapioka impor. Ini merusak harga di tingkat petani,” tegas politisi PKB itu.
Abas juga menyoroti praktik penguasaan lahan oleh perusahaan pengolahan singkong yang turut memperburuk kondisi pasar. Menurutnya, perusahaan seharusnya fokus pada hilirisasi, bukan ikut menanam.
“Pabrik seharusnya tidak menanam singkong sendiri. Petani yang menanam, perusahaan yang mengolah, dan pemerintah mengatur agar tata niaganya berkeadilan. Itulah pola kemitraan yang sehat,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa sektor pertanian tidak akan tumbuh jika petani tidak mendapat jaminan harga yang layak.
“Pupuk tersedia, petani produktif, lahan luas—semua itu tidak akan berarti jika tidak ada kepastian harga. Pertanian bisa lumpuh,” ujar Abas.
Sebagai anggota Pansus, ia berkomitmen mendorong reformasi tata kelola distribusi singkong di Lampung. Ia meminta pemerintah pusat dan daerah segera menertibkan mekanisme impor dan membangun kemitraan yang adil antara petani dan industri.
“Negara harus hadir dan berpihak. Jangan biarkan petani kita kalah di tanah sendiri,” tutupnya.