Ketika ‘Relevan’ Digantikan ‘Relate’: Pergeseran Linguistik dalam Pembelajaran Formal di Sekolah

Oleh: Figo Fajar Aprian, Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung

Suatu hari di ruang kelas sebuah sekolah menengah di Lampung, beberapa peserta didik sedang melaksanakan presentasi mata pelajaran bahasa Indonesia.

“Saat menulis puisi, langkah pertama adalah bikin tema yang relate dengan kehidupan kita,” ucap seorang peserta didik ketika sedang presentasi.

Alih-alih menggunakan kata “relevan” saat melakukan presentasi formal dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, peserta didik tersebut menggunakan kata “relate” yang merupakan bahasa asing.

Bahasa formal yang seharusnya digunakan pada ranah akademik, terlebih dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, kini bercampur dengan bahasa gaul/bahasa asing yang sering muncul di media sosial.

Fenomena ini bukan sekadar anekdot, tetapi cerminan pergeseran linguistik yang terjadi di kalangan generasi muda di Indonesia.

Fenomena yang terjadi menuntut peneliti untuk menyelidiki tingkat pergeseran linguistik di kalangan generasi muda.

Hasilnya? Penelitian oleh Lestari dan Lim (2025) menemukan bahwa 75% responden yang merupakan 100 siswa aktif di Bangka menggunakan bahasa gaul dengan frekuensi tinggi atau sangat sering.

Penelitian ini juga mengungkap bahwa siswa yang menggunakan bahasa gaul secara moderat cenderung tidak mampu menyesuaikan komunikasi formal dengan lebih baik (1).

Dipertegas oleh Dalimunthe, dkk (2024) bahwa kemampuan komunikasi formal mereka terpengaruh oleh bahasa gaul yang didapatkan dari media sosial (2).

Pergeseran linguistik ini adalah fenomena nyata, tetapi penyebabnya tidak membuat terkejut. Di era revolusi digital seperti sekarang ini, peserta didik memang dituntut untuk melakukan riset terhadap pembelajaran dengan berbagai sumber, baik buku maupun internet.

Namun, tampaknya pergeseran linguistik yang terjadi menjadi tamparan bagi pendidik, khususnya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, bahwa internet juga memiliki dampak negatif bagi peserta didik.

Kajian yang dilakukan oleh KemenPPA menunjukkan lebih dari 11 jam penggunaan gawai per anak setiap harinya, baik untuk hiburan, media sosial, maupun aktivitas di luar kebutuhan belajar (3).

Seperti yang disebutkan oleh data di atas, tidak adanya kontrol bagi siswa dalam mengakses gawai dan berselancar di media sosial dapat menyebabkan pergeseran linguistik yang serius.

Dalam komunikasi sehari-hari saja mereka lebih sering menggunakan bahasa gaul/bahasa asing seperti otw (on the way), bestie, relate, dan literraly.

Padahal, kata-kata tersebut ada padanannya dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) seperti sedang dalam perjalanan, teman/sahabat, sesuai/relevan, dan sebenarnya.

Lantas apakah penggunaan bahasa gaul atau bahasa slang itu salah? Sebenarnya, bahasa gaul adalah bahasa yang alami dan sah jika digunakan dalam konteks tertentu.

Sebab kompetensi berbahasa bukan soal “benar-salah” tetapi “tepat-tidak tepat” sesuai konteks.

Oleh karena itu, peserta didik perlu dibekali dengan kemampuan code-switching atau alih kode untuk berpindah antara ragam bahasa formal dan informal.

Ketika kata “relate” menggantikan “relevan”, kita tidak sedang menyaksikan kematian bahasa Indonesia.

Kita sedang menyaksikan evlolusi bahasa karena adanya adaptasi, bukan resistensi. Era digital tidak mencederai bahasa, tetapi perlu adanya bimbingan dari pendidik kepada peserta didik. Bimbingan ini adalah pembelajaran yang dapat memberdayakan peserta didik untuk menjadi komunikator yang kompeten di semua medan: dari ruang kelas hingga ruang digital, dari esai akademik hingga caption Instagram.

Literatur:
[1] Lestari, A. P., & Lim, A. (2025). THE INFLUENCE OF SLANG LANGUAGE ON SOCIAL MEDIA ON COLLEGE STUDENTS’UNDERSTANDING OF FORMAL LANGUAGE. ELTE Journal (English Language Teaching and Education), 13(01), 18-25.

[2] Dalimunthe, S. F., Elsadin, R. T., Asisah, F., Syahbila, A., Sinaga, A. F. L., & Pratama, P. A. (2024).

Pengaruh Penggunaan Bahasa Gaul di Media Social Terhadap Kemampuan Berbahasa Indonesia yang Baku pada Mahasiswa.

Indonesian Journal of Education and Development Research, 3(1), 544-549.

[3] NU Online, Anak Indonesia Habiskan 11 Jam Sehari Main Gawai, Perlu Tiga Langkah Intervensi, NU Online, 28 Oktober 2025.

Diakses pada 11 Desember 2025. https://nu.or.id/nasional/anak-indonesia-habiskan-11-jam-sehari-main-gawai-perlu-tiga-langkah-intervensi-Qy0SX

*) Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung
Dosen Pembimbing: Dr. Edi Suyanto, M.Pd.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *