Konflik tanah di Way Dadi, Way Dadi Baru, dan Korpri Jaya, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung, kembali mencuat ke permukaan. Puluhan perwakilan warga yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Tanah menyuarakan aspirasi mereka dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Selasa (14/10/2025).
Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas), Armin Hadi, mengatakan polemik tanah tersebut telah berlangsung selama empat dekade tanpa kepastian.
“Proses penyelesaiannya sudah berjalan 40 tahun, tapi belum juga ada titik terang. Padahal hasil kajian Ombudsman menunjukkan ada praktik maladministrasi dalam penertiban hak atas tanah itu,” ujar Armin seusai RDP.
Armin menjelaskan, konflik bermula pada tahun 1980, ketika Menteri Dalam Negeri menetapkan sekitar 300 hektare lahan di Way Dadi sebagai tanah untuk rakyat. Namun, hingga kini, hanya 30 persen lahan yang bersertifikat atas nama masyarakat.
“Lebih dari 90 hektare dikuasai PT Way Halim Permai, dan sekitar 110 hektare diambil alih pemerintah daerah. Sebagian digunakan untuk stadion, hutan kota, dan kompleks DPR,” terangnya.
Menurut Armin, lahan yang seharusnya menjadi hak rakyat kemudian didaftarkan sebagai aset pemerintah dengan skema Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
“Kalau penerbitan HPL itu cacat hukum, seharusnya bisa dibatalkan. Permen Agraria Nomor 9 Tahun 1999 sudah jelas mengatur mekanismenya,” tegasnya.
Armin menambahkan, masyarakat masih menaruh harapan pada pemerintah agar membuka jalan penyelesaian melalui skema reforma agraria dan program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap).
“Kami berharap DPRD bisa membantu mendorong pembatalan HPL agar tanah ini dikembalikan kepada rakyat,” ujarnya.
Saat ini, terdapat sekitar 23 ribu kepala keluarga (KK) terdampak dalam konflik tanah tersebut, yang meliputi area seluas 189,3 hektare di tiga kelurahan.












