Harga Gabah di Bawah HPP, DPRD Lampung Minta Petani Segera Lapor

Anggota Komisi II DPRD Provinsi Lampung, Fatikhatul Khoiriyah, meminta para petani untuk segera melapor apabila menjual gabah di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp6.500 per kilogram. Harga tersebut telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 2 Tahun 2025.

“Jika ada tengkulak atau pengusaha penggilingan membeli di bawah HPP, silakan petani melaporkan ke DPRD. Kita akan tindaklanjuti,” kata Fatikhatul, Senin (14/4/2025).

Ia mengungkapkan, Komisi II DPRD Lampung telah memanggil sejumlah pihak dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), termasuk Bulog, Perpadi, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, dan instansi terkait lainnya untuk membahas isu harga gabah pada masa panen raya.

Dalam rapat tersebut, Bulog menyatakan hanya mampu menyerap sekitar 20 persen dari total hasil panen petani di Lampung. Kondisi ini, menurut Fatikhatul, membuka ruang bagi tengkulak untuk memainkan harga di tingkat petani.

“Ini menjadi pekerjaan rumah. Para pengusaha harus diingatkan untuk membeli sesuai ketetapan pemerintah, Rp6.500 per kilogram,” tegasnya.

Sebelumnya, sejumlah petani mengeluh di media sosial karena gabah mereka dibeli hanya Rp5.000 per kilogram. Keluhan juga muncul di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur. Salah satu pengelola toko beras, Haryanto (45), mengatakan harga gabah di tingkat petani memang mengalami penurunan, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap harga beras di pasar.

Menurut Haryanto, beras medium di pasar dijual Rp12.000–12.500 per kilogram dan beras premium Rp13.000–13.500 per kilogram. Ia menilai stabilnya harga beras di pasar tetap terjaga karena adanya patokan HPP.

Sementara itu, Fatikhatul menambahkan bahwa toleransi harga gabah masih bisa dipengaruhi oleh kualitas. Oleh karena itu, ia meminta petani memperhatikan mutu gabah sebelum menjual.

Terkait aturan penjualan gabah lintas daerah, ia menyebut Komisi II tengah mengkaji ulang Peraturan Gubernur Nomor 7 Tahun 2017 yang mewajibkan hasil panen dijual di dalam provinsi.

“Aturan ini dulu diterbitkan untuk menjaga stok pangan di Lampung. Tapi dalam situasi panen melimpah seperti sekarang, tentu perlu dikaji ulang apakah masih relevan atau perlu revisi,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *